self edition,ESAUMAYA MARANATHA
.i'm photographer,and i live from portofolio.
just it.
Architecture,Esaumaya Maranatha
.i'm photographer,and i live from portofolio.
just it.
Salah satu dari pesan Peter Eisenman yang saya kutip dari blog Ridwan Kamil:
Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur, segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia dan Dubai tidak memilikinya
Pernyataan ini amat berhubungan dengan kebimbangan saya minggu lalu akan sebuah konteks kota ideal dimana dikatakan salah satunya adalah uniformity, penyeragaman tatanan, rumah harus seperti ini, jalan harus ada ini tidak ada itu dsb, sampai penyeragaman arsitektur – dimana yang paling ekstrim dikatakan harus dimusnakannya kejelekan (ugliness) dan kemiskinan (poorness), “orang miskin pergi aje lo ke laut”, Akan dikemanakannya kultur Indonesia yang kaya akan bentuk-bentuk geometri (termasuk disini adalah rumah-rumah gubug tradisionil yang -mungkin akan- masuk dalam kategori poorness) dan tentu saja sangat mampu memperkuat konteks kota dan budaya Indonesia itu sendiri, jika ternyata tidak masuk kedalam kategori Uniformity of Ideal City.
© Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP